Akhir - akhir ini, di awal minggu di bulan Oktober tahun 2020, kita dikejutkan dengan pemberitaan di media massa mengenai kebijakan Omnibus law dan RUU cipta kerja. Apakah yang dimaksud dengan omnibus law itu?
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.
Di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, pemerintah juga berencana menghapus skema pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana ada penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial.
Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah. Misalnya untuk UMK di suatu kabupaten sebesar Rp 4.000.000,- namun UMP provinsi di kabupaten tersebut sebesar Rp 2.000.000,- maka perusahaan boleh memberi upah terhadap pekerja sebesar Rp 2.000.000 meskipun UMK di kabupaten sebesar Rp 4.000.000,-
(Baca juga : pilih bekerja di perusahaan besar atau perusahaan kecil?)
Selain itu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu. Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pemerintah dianggap memberikan legalitas bagi pengusaha yang menerapkan jatah libur hanya sehari dalam seminggu. Sementara untuk libur dua hari per minggu, dianggap sebagai kebijakan masing-masing perusahaan yang tidak diatur oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar