Selasa, 06 Oktober 2020

Omnibus Law Dan RUU Cipta Kerja Yang Dianggap Merugikan Kaum Buruh Dan Pekerja

Akhir - akhir ini, di awal minggu di bulan Oktober tahun 2020, kita dikejutkan dengan pemberitaan di media massa mengenai kebijakan Omnibus law dan RUU cipta kerja. Apakah yang dimaksud dengan omnibus law itu? 

Omnibus berasal dari bahasa latin yang artinya yaitu untuk semuanya. Dalam masalah hukum, omnibus law adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Saat ini omnibus law menjadi kebijakan yang kontra di mata para buruh pekerja di tanah air. Kemudian pertanyaannya, mengapa omnibus law yang ditolak mati-matian oleh kalangan buruh pekerja dan bagaimana isi RUU Cipta Kerja itu?

Dalam omnibus law, terdapat tiga RUU yang siap diundang-undangkan, di antaranya yaitu RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. 


RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law. RUU cipta kerja inilah yang menyebabkan demo besar - besaran di kalangan buruh. RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya untuk kepentingan para investor.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia.

Di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, pemerintah juga berencana menghapus skema pemutusan hubungan kerja (PHK), dimana ada penghapusan mengenai hak pekerja mengajukan gugatan ke lembaga perselisihan hubungan industrial. 

Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah. Misalnya untuk UMK di suatu kabupaten sebesar Rp 4.000.000,- namun UMP provinsi di kabupaten tersebut sebesar Rp 2.000.000,- maka perusahaan boleh memberi upah terhadap pekerja sebesar Rp 2.000.000 meskipun UMK di kabupaten sebesar Rp 4.000.000,-

(Baca juga : pilih bekerja di perusahaan besar atau perusahaan kecil?)

Selain itu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu. Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Pemerintah dianggap memberikan legalitas bagi pengusaha yang menerapkan jatah libur hanya sehari dalam seminggu. Sementara untuk libur dua hari per minggu, dianggap sebagai kebijakan masing-masing perusahaan yang tidak diatur oleh pemerintah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar